Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Filsafat Pendidikan : Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Seni


apologiku - Istilah seni sering ditafsirkan dalam pengertian yang berbeda-beda, ada yang saling mendukung dan ada yang saling bertentangan. Sebelum zaman Jepang seni diberi arti halus, tipis, tinggi (suara) (Wahid, 1979: 3) yang tampaknya belum banyak dipergunakan orang. Sejak zaman Jepang, istilah itu populer sampai sekarang dengan pengertian bagus, indah, membuat sesuatu yang indah.

Ontologi Seni

Objek yang ditelaah seni adalah karya ciptaan manusia yang mengandung nilai-nilai estetika, aktivitas mencipta dengan segala syarat yang memungkinkannya, dan kumpulan perasaan yang di antaranya harus memberikan pengakuan, memahami, menikmati, serta mengagumi, dan menghargai karya seni (Hartoko, 1984: 42). Pendek kata, objek yang ditelaah seni adalah seniman, karyanya, dan penonton/pembaca, sebagai pemberi arti.

Wujud hakiki objek seni adalah karya ciptaan manusia yang berbentuk 2 dan 3 demensi, diserap oleh indera mata, telinga, atau gabungan keduanya. Wujud aktivitas penciptaan karya seni merupakan aktivitas kreatif, sebagai pernyataan suatu emosi atau perasaan yang dalam, merupakan suatu gerak spontan yang mencerminkan ide yang bergejolak. Seniman ingin mengungkapkan isi hati dan perasaannya lewat karya seni yang diciptakannya.

Wujud perasaan pengamat karya seni adalah perasaan keindahan yang muncul karena melihat karya seni, sehingga menimbulkan rasa kagum, hormat, nikmat, senang, dan menghargai. Hubungan antara karya seni (objek) dan daya tangkap manusia dapat menimbulkan rasa senang, sedih, marah, gembira, ngeri, dan seterusnya.

Aktivitas mencipta dapat terjadi karena pengaruh gejolak jiwa seniman itu sendiri atau pun pengaruh estetik dari rangsangan luar (melihat, merenungkan sesuatu, dan sebagainya). Pengamat tidak memiliki kesamaan dalam hal merasakan, mengartikan, dan menghargai suatu karya seni. Hal itu dapat terjadi karena perasaan keindahan masing-masing pengamat dan nilai estetik yang terkandung dalam karya memang tidaklah sama.

Epistemologi Seni

Proses terjadinya seni (Gie, 1983: 76) dapat ditinjau dari teori tiru dan teori cipta. Teori tiru berasal dari metafisika. Plato mengatakan bahwa karya seni dibuat manusia hanyalah merupakan mimesis (tiruan) dari realita Ilahi (dunia ide pada taraf tinggi). Schopenhouer menjelaskan bahwa seni merupakan pemahaman suatu realita, sejati atau keinginan (will) yang semesta. Seni dapat dilahirkan jika pikiran diarahkan pada ide-ide dan merenungkannya demi ide-ide itu sendiri. Teori inilah yang melahirkan karya naturalis dan realis, meniru alam setepat-tepatnya.

Teori cipta, di pihak lain, menyatakan bahwa karya seni tidak terletak pada barang (alam, kenyataan), melainkan pada seniman yang mencipta. Jika kita melihat lukisan abstrak, misalnya, kita tidak boleh memandangnya dengan mata biasa, tetapi harus dengan mata hati. Kita cari idenya dan kita tafsirkan apa yang dihidangkan seniman lewat ciptaannya tersebut.

Prosedur mendapatkan karya seni dapat melalui beberapa sumber, di antaranya pengalaman, rasio, dan intuisi. Dari sumber pengalaman kita gunakan metode induktif, berdasarkan gejala-gejala yang konkret dari hasil persepsi pancaindera. Dari Sumber rasio digunakan metode deduktif, lewat penalaran rasio yang abstrak dan bersifat subjektif. Dari sumber intuisi didapatkan karya seni berdasarkan kontemplasi. Sumber ini yang tampaknya menghasilkan karya-karya ekspresionis, impresionis, dan abstrak-ekspresionis.

Dengan adanya intuisi jelas proses penciptaan suatu karya seni tidak dapat diulang. Oleh karena itu, metode ilmiah tidak dapat ditampilkan untuk menciptakan karya seni. Kalaupun dapat dianalisis secara eksperimental, semua pendekatan dan analisis ilmiah itu hanya memusatkan perhatiannya pada sebagian dari kenyataan keindahan. Estetika sebagai filsafat ingin melihat aspek itu secara keseluruhan.

Mutu suatu karya seni ditentukan oleh nilai estetik yang terkandung di dalamnya. Harus diingat bahwa keindahan bukanlah nilai satu-satunya dari estetika. Rasa ngeri, takut, sedih, gembira, dan yang lain pun merupakan unsur estetika. Dengan memperhatikan dan mengatur bermacam nilai tersebut sampai menjadi suatu keharmonisan, akan didapatkan karya seni yang bermutu.

Suatu karya termasuk dalam seni jika karya tersebut merupakan hasil ciptaan manusia yang kreatif, melahirkan realita baru, dapat dirasakan oleh indera, bersifat manusiawi, merupakan karya individu, dan bersifat universal.

Aksiologi Seni
Ditinjau dari segi mediumnya, suatu karya seni memiliki nilai bentuk, nilai indrawi, nilai pengetahuan, dan nilai kehidupan. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, seni dapat berhubungan dengan masyarakat, menunjukkan tinggi nilai seni itu kepada pengamat, membuat orang sadar akan realita subjektif, serta pemahaman terhadap segenap tahap kehidupan dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya.

Dalam kehidupan sehari-hari seni terapan banyak dinikmati masyarakat. Desain terapan teknik, misalnya, menghasilkan mobil, kapal terbang, teve, dan sebagainya. Demikian pula perkembangan mode, tata busana, kebutuhan rumah tangga seperti meubel, hiasan dinding, dan sebagainya sudah merupakan kebutuhan rohani sehari-hari dan masyarakat. Walaupun tidak jarang orang akhirnya lebih menumpahkan perhatiannya kepada keindahan bentuk atau rupa daripada segi etika atau pun logika.

Dalam upaya mencapai segi keindahan kadang-kadang orang mengorbankan aspek moral. Nilai seni yang tidak terikat moral cenderung mudah tergelincir pada hedonisme. Dalam hal ini, lebih mementingkan nilai pancaindera dan orang mengabaikan nilai rohani. Penggunaan seni harus selalu dikaitkan dengan kaidah moral.

Unsur-unsur moral harus terdapat dalam setiap karya seni. Seniman sebagai pencipta karya seni harus memahami pentingnya kegunaan moral diterapkan dalam setiap ciptaan. Dengan seni masyarakat dapat dididik, diarahkan, dan dipengaruhi. Kunci utama itu tampaknya terletak pada kesadaran seniman bahwa moral dan seni haruslah babu-membahu dalam upaya membentuk watak dan moral generasi penerus.

Objek seni yang ditelaah berdasarkan pemilihan moral itu janganlah menjadi eksperimen yang mengakibatkan nilai-nilai kemanusiaan dikesampingkan dan direndahkan demi nilai keindahan itu sendiri. Dalam bereksperimen untuk mendapatkan realita baru yang kreatif seharusnya nilai-nilai kemanusiaan itu dijunjung tinggi, dengan tidak mengurangi mutu seni yang akan diwujudkannya. Keindahan adalah nilai positif, demikian pula kebaikan dan kebenaran.

Dalam mencipta karya seni seniman harus jujur karena karya itu harus memiliki nilai-nilai. Karya tersebut adalah baru, segar, dinamis, mengandung semangat dan nilai-nilai moral, estetis, dan membabarkan nilai-nilai perasaan penciptanya.

Post a Comment for "Filsafat Pendidikan : Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Seni"